Kamis, 22 Juli 2010

Puisi

Bila Tiba Waktu Berpisah Di bawah naungan langit biru dengan segala hiasannya yang indah tiada tara Di atas hamparan bumi dengan segala lukisannya yang panjang terbentang Masih kudapatkan dan kurasakan Curahan rahmat dan berbagai ni'mat Yang kerap Kau berikan Tapi bila tiba waktu berpisah Pantaskah kumemohon diri Tanpa setetes syukur di samudera rahmat-Mu Di siang hari kulangkahkan kaki bersama ayunan langkah sahabatku Di malam hari kupejamkan mata bersama orang-orang yang kucintai Masih kudapatkan dan kurasakan Keramaian suasana dan ketenangan jiwa Tapi bila tiba waktu berpisah Akankah kupergi seorang diri Tanpa bayang-bayang mereka yang akan menemani Ketika kulalui jalan-jalan yang berdebu yang selalu mengotori tubuhku Ketika kuisi masa-masa yang ada dengan segala sesuatu yang tiada arti Masih bisa kumenghibur diri Tubuhku kan bersih dan esok kan lebih baik Tanpa sebersit keraguan Tapi bila tiba waktu berpisah Masih adakah kesempatan bagiku Tuk membersihkan jiwa dan hatiku Setiap kegagalan yang membawa kekecewaan Setiap kenyataan yang menghadirkan penyesalan Masih kudengar dan kurasakan Suara-suara yang menghibur Tuk menghapus setiap kecewa dan sesal Tapi bila tiba waktu berpisah Adakah yang akan menghiburku Akankah aku pergi tanpa kekecewaan dan penyesalan Bumi pun Bicara Bila tiba masanya Di punggungku engkau berjalan dalam kesombongan bumi pun akan bicara di perutku engkau dihinakan Di punggungku engkau berlari Di atasku engkau dalam kebersamaan ke dalam perutku engkau kembali Di atasku engkau berjalan dalam kesenangan Di punggungku engkau bermandikan cahaya di perutku engkau jatuh dalam kesusahan di perutku engkau dalam gulita Di punggungku engkau tertawa Di atasku engkau durhaka di perutku engkau berduka, bumi pun akan bicara Diatasku engkau makan yang diharamkan, di dalam perutku engkau tersiksa di perutku engkau menjadi santapan Bila tiba waktunya C e r m i n Di depan cermin kuberkaca kulihat sesosok tubuh berdiri tanpa suara matanya memandang hina menatapku penuh cela senyum tipis di bibirnya hampir sirna berhias seribu cerca Terbersit sebuah rasa di hati tentang kekufuran diri tentang syukurku yang telah pergi Di depan cermin kuberkaca kulihat sesosok tubuh berdiri tanpa suara matanya memandang penuh puja menatapku penuh makna senyum tipis di bibirnyaseakan berkata kau sangat sempurna Terbersit sebuah rasa di hati tentang kesombongan yang singgah di dalam diri tentang keangkuhan tanpa kesadaran nurani Dari dalam Dirimu Dari dalam dirimu bila kau mau dan mampu lukislah sebuah senyuman di bibirmu karena itu indah bak mentari pagi yang memberikan keceriaan hari laksana langit senja yang pamit menghdirkan ketenangan angkasa dengan bulan dan gemintang bagi yang memandang Dari dalam dirimu bila kau mau dan mampu rangkailah kata bijak di setiap kalimatmu karena itu indah seperti nyanyian burung yang berterbangan di sela dahan bagaikan kidung serangga pengisi taman malam bagi yang mendengar Dari dalam dirimu bila kau mau dan mampu eratkanlah sesama di hatimu karena itu indah bak tali pemersatu laksana titian penghubung bagi sebuah ukhuwah Dari dalam dirimu bila kau mau dan mampu bacalah bentangan semesta raya karena itu indah ketika deru ombak berpadu dengan awan berarak di saat alam bersatu dari kemajemukan raga bagi yang berpikir Dari dalam dirimu bila kau mau dan mampu satukanlah niat dan kata dalam nyata karena itu indah bila lisan sejalan hati jika hati seiring perbuatan bagi yang merasa D e b u Setiap langkah kakiku Melewati jalan berdebu Yang tertiup angin Dan melekat Di kakiku, di tanganku, di tubuhku Setiap pandangan mataku Menatap alam berdebu Yang mengelilingi tubuhku Dan mengotori Rambutku, kulitku, pakaianku Setiap perjalanan waktuku Dipenuhi masa berdebu Yang datang Melekat Dan tak hilang Dirajai Malam Sepertiga malam terakhir mulai bergulir Kerlip tasbih gemintang di angkasa malam tetap berkumandang Zikir cahya rembulan seakan tak ada penghabisan Puja-puji serangga malam tiada pernah tenggelam Membahana di semesta angkasa Tiap sepertiga malam kulalui dengan terpejam Berbaring mengukur berapa panjang tempat kutidur Dihibur nyanyi kidung alam mimpi Yang akan pergi bila kubangkit berdiri Sepertiga malam terakhir terus bergulir Kamarku kian gersang dengan lantainya yang sudah usang Di sudut ruang dengan cahaya remang Terbentang sajadah tempat kuberserah Menghiba diri kepangkuan Ilahi Namun tak kuasa diri ini menggapainya Tiap sepertiga malam kulalui dengan terpejam Di alam mimpi dari dunia tak bertepi Yang membelenggu hingga dikekang nafsu Karena diriku dirajai malam bukan merajai malam Duri dalam Diri Sengaja tanpa sengaja kulukai kusakiti kumencaci orang dan diri melupakan melupakan diri dari karuania Ilahi Dengan segala tipu daya menutupi kebusukan jiwa diri dalam nista bersama dosa kuterhina dan tercela oleh orang dan diri Kutersesat dalam malam pekat melangkah dalam gulita gelap tak berksudahan Kuberjalan saat terlena kulakukan yang kusalahkan Belenggu hati dalam mimpi yang tak terbangunkan D o a Dalam do'a Seribu harap terus kuucap Seribu pinta kurangkai kata Dalam do'a Kupasrah bukan menyerah Kutinggal bersama tawakkal Kuserahkan yang terjadi pasti Setiap kehendak dari Ilahi Dalam do'a Kutumpahkan segala hina diri Demi kasih murni sejati Dalam do'a D u s t u r Kutemukan ...... sebuah nama dalam keagungan berselimut kekuatan memancarkan kekuasaan dipuji diabdi Kulihat ..... aneka bentuk terangkai rupa terhimpun tersusun bersurat arti bersirat makna Kubaca ..... segala misal perumpamaan pengajaran teguran yang mengingatkan hati insan yang penuh kekhilafan Kudapatkan ..... di setiap lembar halaman pedoman aturan peta penunjuk jalan bagi langkah kaki dalam menapak kehidupan Kudengarkan ..... kisah yang diceritakan berita yang dikabarkan tentang kebahagiaan tentang kepedihan dari janji adil pembalasan Genderang Dari benih yang terlahir keserakahan itu pun hadir menyelimuti dunia yang memang sudah renta hingga tak mampu lagi membendung dan mencegah penindasan kepada yang lemah Di setiap detik terus bergema jerit kematian tangis pedih kehilangan Di setiap detik terus mengalir tetesan air mata darah mereka yang tak berdosa Di setiap detik terlihat tubuh-tubuh tergeletak tak bernyawa tak bergerak Nafsu bahimiyah tak tercegah Hati Tak Bertuan Ayunan kaki melangkah tanpa tujuan Menyusuri jalan tanpa kepastian Berlari Berhenti Tak menentu Mata-mata yang hampir buta Memandang suram Terbuka Terpejam Meski tak mengerti Lidah-lidah yang hampir kaku Berkata tanpa ragu Berucap Terdiam Seakan tahu segalanya Telinga-telinga yang hampir tuli Mendengar tiap hari Segala suara Tanpa batas Namun tak berbekas Langkah-langkah tanpa tujuan Mata-mata yang memandang kegelapan Lidah-lidah yang beruap tanpa perasaan Telinga-telinga yang mendengar dalam ketulian Dari hati tak bertuan Kebekuan Di sini..... Kusaksikan pergantian masa Surya tenggelam mengundang rembulan Sahutan ayam terdengar memanggil fajar Telah mengambil bagian diriku Di sini..... Kumengenang hari-hari yang telah berlalu Membawaku dalam kebekuan jiwa Di dalam dunia lamunan Yang terus menyelimuti di setiap waktuku Di sini..... Kusaksikan taman mulai berbunga Kuntum-kuntumnya mulai mekar menebar keharuman Pepohonannya mulai rindang dan berbuah di setiap cabang Di sini..... Aku hanya diam membeku Tak mampu berbunga dan berbuah Dalam kebekuan jiwa Di setiap waktuku KepadaMU Jua Setiap keindahan yang tumbuh bersemi Subur berbunga dalam hati insani KepadaMu jua yang hakiki kembali Setiap kegelisahan di jiwa Rasa takut dan berputus asa KepadaMu jua segala pengharapan ditujukan Setiap kesendirian di malam sepi Berkawan dengan sunyi KepadaMu jua segala ingatan yang meramaikan Setiap kesedihan sebuah luka Yang diringi tetesan air mata KepadaMu jua segalanya kan terobati Mawar di Pagi Hari Duhai mawar kuntummu telah mekar ketika menyambut kehadiran sang fajar rupa menawan menebar keharuman indah mempesona Duhai mawar kuntummu telah mekar ketika sang surya memnampakkan diri tuk mengawali hari mengharum semerbak di seluruh taman damailah rasa Duhai mawar akankah kuntummu tetap mekar ketika rasa ini mngehendaki di esok hari ingin mencium keharumanmu lagi segarlah sepanjang masa Pengakuan Rinduku kekasih Tumbuh bersemi dalam kehampaan Pupus dan gersang Hanyut dan hilang Di sungai tanpa sekumpulan mata air Terbang dan melayang Di bumi terhampar tanpa denyut kehidupan Cintaku kekasih Tak sebening tetes embun pagi di ujung dedaunan Hanya bagai kabut putih di pegunungan Yang datang dan kembali pergi Hilang diterpa pancaran sinar matahari Ketulusanku kekasih Yang kusampaikan di dalam setumpuk bingkisan Disinggahi seribu pamrih Yang berakar dan terus berbunga Permata Di mana tetesan air mata Yang mengalir membasahi pipi Ketika mengenang segala dosa Yang singgah menodai hati Ke mana getaran rasa pergi Tinggalkan seorang hamba Ketika memandang kuasa Ilahi Hingga tak berbekas di jiwa Permata yang hilang Terpuruk di relung jiwa nan kelam Rasa kesombongan Sembunyikan kehambaan Berjalan tanpa salah dan dosa Seakan tak pernah ada Rasa penyesalan Hilang dalam kegersangan Bersama tandusnya taman iman Yang menyerap embun kesejukan Permata yang hilang Terbenam dalam lumpur noda Permata yang berharga Terkikis masa Bersama nafsu menggoda Dan kekuasaannya berjaya Raih Cita Bersama Mentari Langit senja mulai temaram siang berakhir digantikan malam dengan segala hiasannya di angkasa menerangi bumi Keping kenangan di masa lalu dari sebuah kegagalan berakhir kekecewaan bukanlah benih putus asa di esok dan lusa bersama mentari baru Rembulan berkawan bintang hapuskan keraguan dari sebuah asa pengharapan Bergema do'a jalan terbuka tergapai segala cita Sahabat Sahabatku adalah tetesan embun pagi yang jatuh membasahi kegersangan hati hingga mampu menyuburkan seluruh taman sanubari dalam kesejukan Sahabatku adalah bintang gemintang malam di angkasa raya yang menemani kesendirian rembulan yang berduka hingga mampu menerangi gulita semesta dalam kebersamaan Sahabatku adalah pohon rindang dengan seribu dahan yang memayungi dari terik matahari yang tak tertahankan hingga mampu memberikan keteduhan dalam kedamaian Wahai angin pengembara kabarkanlah kepadaku tentang dirinya Sahabatku adalah kumpulan mata air dari telaga suci yang jernih mengalir tiada henti hingga mampu menghapuskan rasa dahaga diri dalam kesegaran Sahabatku adalah derasnya hujan yang turun yang menyirami setiap jengkal bumi yang berdebu menahun hingga mampu membersihkan mahkota bunga dan dedaun dalam kesucian Sahabatku adalah untaian intan permata yang berkilau indah sebagai anugerah tiada tara hingga mampu menebar pesona jiwa dalam keindahan Wahai burung duta suara ceritakanlah kepadaku tentang kehadirannya Semerbak Tanpa Batas Semerbak tumbuh mewangi Seribu mahkota di taman pekerti Mengiringi langkah-langkah angin yang bertiup di bumi Harumi setiap penjuru yang disusuri Tiadalah sendiri dalam sepi Segala keindahan mengundang hati Memikat mata dengan pesona hakiki Yang berhias kemuliaan tiada tara Kehadirannya serikan semesta Agung setiap masa Senandung Senandung telah bersua merangkai kata-kata dalam berita yang terbawa entah dari mana tanpa sadar akibat dan derita Tiada lagi yang terkekang mengoyak semua tirai penghalang seiring angin bertiup kian kencang senandung pun terus berkumandang Tanpa ragu tanpa malu menghina yang jauh di setiap penjuru membusungkan dada sekan tiada cela Kelana senandung tanpa hati menutupi kehinaan diri yang bersembunyi di balik bait-bait syairnya Tak Berbekas Kulihat apa yangg tersurat seraya mencoba mengerti apa yang tersirat keagungannya Tetapi ...... Mulutku telah mencaci Kaki tanganku terus menodai kesuciannya Tetapi ...... Yang kudengar masih kulanggar Yang kufahami tak kujalani darinya Tetapi ...... Semuanya tak berbekas dalam gerak hidupku bersama desah nafasku dalam aliran darahku yang mengiringi denyut nadiku Kulihat apa yangg tersurat seraya mencoba mengerti apa yang tersirat tanpa kehadirannya Terkadang Terkadang kuinginkan yang hilang kan terulang Terkadang kumau yang pergi tuk kembali Terkadang kuberharap yang duka sirna selamanya Terkadang kubercita dalam hampa tanpa kerja Terkadang kusesali yang terjadi menimpa diri Terkadang kuramaikan suasana dengan canda tawa penghapus lara Terkadang kusunyikan suasana dalam kebersamaan dengan kesendirian Terkadang kutergoda dan terlena dalam tipu daya Terkadang kutancapkan cita agar berbunga namun tak kuasa Terlena Kubernyanyi Kumenari Lalu terelena Kuberdendang Kutertawa Lalu lalai dan lupa Kuberjalan Kuberlari Lalu berhenti tanpa tujuan pasti Kubersedih Kumenangis Lalu meneteskan air mata tanpa arti Kuterdiam Membekukan diri Entah berbuat apa lagi Kupergi Lalu kembali Entah kapan tersadar Bilakah kumelangkah Berkelana jauh Dan tak kan pernah kembali Tetapkanlah Bagai nyiur tertiup angin bergerak tanpa kepastian begitulah hatiku ketika selalu mengikuti arus kehidupan kemana saja ingin membawa Kumencoba melawan menentang namun tak kuasa Tetapkan..... tetapkanlah hatiku Kuatkan ..... kuatkanlah jiwaku Yang Berharga Yang Terlupa Detik demi detik dari masa yang berlalu akan terus berganti waktu Kisah demi kisah yang telah pergi akan tetap hilang dan tak kan kembali Matahari yang ada di siang ini esok kan berbeda tak terulang lagi Rembulan yang ada di malam hari esok pun kan berganti Saat ada akan terlupa ketika berlalu datanglah rindu Tiada sadar jiwa-jiwa yang alpa tentang nilai dan harga ketika segalanya hadir di depan mata Tersadarlah jiwa-jiwa yang merugi dengan penyesalan diri ketika segalanya hilang pergi Nilai dan harga yang terlupa harus ditebus saat telah sirna dengan penyesalan dan harapan sia-sia bilakah kembali terulang di depan mata Yang Kurindu Kurindukan……… Sekuntum mawar dalam sebuah harapan Mekar di pagi hari menyambut datangnya mentari Semerbak sepanjang hari tuk meramaikan suasana taman hati Tak layu di malam hari bersama purnama yang menerangi bumi Kurindukan……… Sekuntum mawar dalam genggaman Kelopaknya bukan gemerlap materi tapi kasih sayang Ilahi Mahkotanya bukan kilauan intan permata tapi cahaya pekerti Duri-durinya bukan kesombongan tapi pembenteng diri Kurindukan……… Sekuntum mawar dalam keindahan Dalam kemuliaan abadi Dalam kesucian kasih Ilahi Dalam kemurnian cinta hakiki Kurindukan………… Sekuntum mawar dalam keinginan Sebagai teman sepanjang zaman Kurindukan…….. Sekuntum mawar dalam lantunan do'a Kelak kan hadir di depan mata Pilu Saudaraku Ya Robbi. Ketika desing peluru Kau gantikan dengan gemuruh badai berpacu Ketika wajah-wajah garang Kau gantikan dengan kekalutan yang meradang Ketika luka lama Kau gantikan dengan duka nestapa Ketika secungkil kiamat Kau sematkan di Serambi Mekkah Saat layar kaca menyajikan kepiluan Saat surat kabar menghidangkan kepedihan Saat tak ada yang kuasa menampik kemahakuasaanMu Saat kami merasa diri ini tiada arti dihadapanMu Ya Robbi. Pantaskah saat ini hamba bertanya Apakah Engkau sedang menumpahkan murka Ataukah Kau sedang menyemaikan benih cinta Murka karena tikai tak kunjung reda Ataukah cinta karena sejatinya kami adalah saudara Murka karena nafsu saling keras kepala Ataukah cinta karena kesedihan yang sama dirasa Ya Robbi. Bilakah tak ada lagi tatap mata penuh curiga Tak ada lagi saling sapa dengan moncong senjata Cukup kiranya putra bangsa mati sia-sia Wahai saudaraku di penghujung nusa dan di seluruh pelosok negri Mari jalin jemari merajut kasih Sungguh teramat mahal kisah yang telah kita warisi Jangan pandirkan diri dengan apa yang telah terjadi Afiat Hidayatullah Kerlip cursor di tepian 2004 Aku Mau Tetap Jadi Guru, Bu... Penulis: Rafifah Sebening kaca hatimu ibu Teduh sejuk menyimpan sejuta kasih Kau ajak aku dalam hidupmu Yang penuh rintangan Kubersyukur terlahir kedunia ini melalui rahimmu Kau ajari aku berdoa tuk setiap keluh dan kesah Saat kuayun penaku ini, ku sedang mengulang ingatanku tentang kegembiraanku tadi pagi bersama murid-muridku. Hilang sudah rasanya penat seharian, kalau ingat muridku yang lucu-lucu.Terima kasih muridku, kau sungguh lucu. Kadang aku tidak bisa tidur hanya karena tiba-tiba ingat si Iman yang melucu. Atau Salma yang selalu orasi, bak seorang orator ulung. Padahal menyebut huruf “R” saja belum jelas. Ah terlalu banyak kejadian yang mengesankan, Bu… Kalau kutulis semua ibu lelah membacanya. Buku diaryku pun sudah ampun-ampun kalau kumulai menulis tentang anak-anak setiap malam menjelang tidur. Tapi Bu, kusedih kalau ingat perkataan ibu. Sebenarnya sudah lama ibu katakan, mungkin sekarang ibu sudah lupa.Karena ibu sibuk organisasi. Ibu pernah menyuruhku pindah profesi. Kalau ada yang tanya tentang pekerjaanku, ibu selalu menempelkan kata “cuma jadi guru”. Ah gadinya kecil tidak seberapa, apalagi ngajar Tk. Tapi sungguh Ibu, menjadi guru menjadi cita-citaku sejak kecil. Masih ingatkah ibu, betapa senangnya aku mengumpulkan anak-anak tetangga.Lalu kuajari menyanyi, kuhibur mereka dengan aneka cerita, hingga tidak ada anak yang bersedih.Waktu itu kubayangkan ku jadi guru yang sayang pada murid-muridnya. Sekarang tercapai sudah cita-citaku, Bu… Aku jadi bu guru sekarang. Duh senang lho, Bu… Bagaimana tidak hatiku selalu terhibur oleh lucunya anak-anak. Kadang rasa sakit bulananku bisa hilang, karena kulupa. Hatiku terhibur oleh suara anak-anak yang bersenandung. Aku jadi semangat belajar semua ilmu. Kalau anak muridku tanya sesuatu, aku sudah tahu. Malu khan kalau bu guru selalu jawab tidak tahu. Apalagi anak-anak muridku senang bertanya ini itu. Ada sebuah tulisan bagus yang pernah kubaca, siapa yang mengajarkan kebaikan, maka semua makhluq Allah akan memintakan ampun, hatta ikan yang ada di laut. Aku mau tetap mau jadi guru, Bu… sampai maut menjemputku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan memberi komentar

GREETINGS